Monday, April 14, 2008

PESTA BUKU 2008


Akhirnya dapat juga kujejakkan kaki ke pesta buku bagi tahun 2008 ini, walau mulanya rasa tiada harapan untuk menghadirkan diri disebabkan ruang masa yang kadang-kadang memeningkan diri untuk menguruskannya, nak dikatakan sibuk melampau-lampau tidaklah juga tapi jika tak diuruskan sebaiknya, banyak benda yang tak dapat dibuat. Apapun, AlhamduliLLAH berjaya juga pergi ke pesta buku kali ini.

Letih berjalan melihat pelbagai ‘booth’ dengan buku-buku yang berbagai tajuk dan sebahagian penulis buku yang hadir mempromosikan buku masing-masing, ditambah lagi terpaksa menempuh lautan manusia yang berpusu-pusu mencari buku-buku yang diminati, membuatkan diri ini merasakan bahawa generasi hari ini masih mencintai bahasa buku.

Buku adalah sebuah wadah yang biasa digunakan oleh para penulis untuk menyebarkan segala ilmu, pengalaman dan pemikiran mereka dalam bentuk tulisan pada helaian-helaian kertas. Ia ternyata berbeza dengan tulisan pada alam maya yang mana hanya dibaca pada paparan komputer dan laptop sahaja, hatta jika di’print’ pun, pasti masih ada perbezaannya.

Pasti setiap penulis yang membukukan tulisan mereka mengharapkan manfaat dari penulisan mereka, minima jika tidak memahami sepenuhnya apa yang ingin disampaikan, sedikit pun jadilah. Apatah lagi andai setiap penulisan mereka akan menjadi panduan dan inspirasi kepada setiap yang membacanya, agar menjadi pahala yang berterusan di akhirat kelak.

Buku juga bakal menjadi warisan yang berterusan kepada generasi terkemudian hingga menjadi bualan generasi seterusnya atas setiap penulisan yang dikarang sang penulis andai telah pergi meninggalkan muka bumi kelak.

Demikian itulah kita membaca kisah Umar r.a begitu bersungguh-sungguh mengusulkan agar Al-Quran dibukukan tatkala melihat ramainya penghafal Quran gugur di dalam peperangan dan kesan dari usulan itu menjadikan Al-Quran masih tetap kekal keaslian tulisan dan maknanya hingga berada dalam setiap rumah orang Islam ketika ini.

Keghairahan manusia mencari buku-buku di pesta buku yang lalu, membuktikan kehebatan kuasa buku mempengaruhi minda masyarakat. Cuma harapnya keghairahan itu juga mengalir saat melihat “Buku Quran” yang telah lama berada di tangan kita semua.
Kerana penulisnya adalah Raja kepada segala penulis dan yang mempromosikan “Buku Quran” ini juga merupakan individu yang hebat kata-kata dan peribadinya.

Begitu juga kita melihat lautan manusia berusaha mendapatkan tandatangan sang penulis dan kata-kata hikmat daripada mereka sebagai tanda kepuasan dan kegembiraan, belum dikira lagi andai dapat bergambar dengan sang penulis buku-buku yang dibeli, betapa bahagianya hidup ini dirasakan.

Jika saat ini insan yang mempromosikan “Buku Quran” itu masih ada, adakah kesungguhan untuk bertemu dengannya juga sehebat kesungguhan kita bertemu dengan penulis kesayangan kita di pesta buku. Jika “Buku Quran” itu hanya dibaca sekali-sekala dan hanya saat-saat tertentu sahaja berbanding masa yang diperuntukkan untuk mengkhatamkan buku-buku lain boleh jadi hanya dalam sehari. Adakah mungkin wujudnya kesungguhan untuk bertemu dengan PENULISNYA dan kecintaan kepada insan yang mempromosikannya andai itulah sikap kita terhadap “Buku Quran”.

Tidak hairanlah kita melenting dengan cukup hebat tatkala filem pendek “Fitna” keudara dalam laman-laman internet yang banyak menyelewengkan makna dan tafsiran “Buku Quran” itu sendiri kerana merasakan “Buku Quran” perlu dijaga kehormatannya. Ya, lentingan dan laungan itu menjadi tanda kita masih lagi mempunyai sensitiviti terhadap agama ini, sayangnya kita hanya mampu melenting dan melaung-laungkan ungkapan bantahan dan boikot pada saat dan ketika itu sahaja sama seperti sikap kita membaca “Buku Quran” itu pada saat dan ketika tertentu sahaja. Realitinya kita sendiri sering mengabaikannya dan jarang memuliakan “Buku Quran” itu dalam kehidupan kita sendiri.

Muhasabahlah diri kita dengan setiap kealpaan dan kelekaan kita akan peringatan dan nasihat dalam “Buku Quran” kita. Dalam kegembiraan kita membaca buku-buku sang penulis yang juga manusia seperti kita, jangan lupakan buku yang ditulis oleh SANG PENULIS YANG MAHA MENGETAHUI SEGALA SESUATU.

Tiga buah buku telah menjadi pilihan diriku untuk membelinya lewat pesta buku yang lalu, agar menjadi panduan dalam kehidupan ini disamping “Buku Quran” yang menjadi tunjang segala buku-buku lain yang dibaca. Harap kalian pun begitu.





Wang, Anda dan Islam - Ustaz Zaharuddin Abdul Rahman
Formula Solat Sempurna -Ustaz Zaharuddin Abdul Rahman
Aku Terima Nikahnya -Ustaz Hasrizal Abdul Jamil

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam” [Al-‘alaq 96:1-4]

Bergambar dengan Ustaz Hasrizal dengan nasihatnya
Bersegeralah "Terima Nikahnya"....

Regards,
Mohd Halimi Abdul Aziz
o8 Rabiul akhir 1429H-02:43a.m

Kehalalan Alkohol?

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Benar sekali, apabila suatu minuman tidak memabukkan, maka minuman itu bukan khamar. Dan kalau bukan khamar, jelas saja tidak haram.

Tapi urusannya beda dengan Bir Bintang, sebab kami tidak pernah mengatakannya halal hanya lantaran kandungan Alkoholnya diklaim sudah 0%. Justru pihak yang menyamakan antara Alkohol dengan khamar harus putar otak, kalau melihat fenomena Bir Bintang.
Sebab mereka sudah terlanjur bilang bahwa Alkohol adalah khamar. Maka ketika produsen Bir Bintang mengklaim bahwa produk mereka bebas Alkohol, kalau pakai logika itu, seharusnya dianggap halal. Apalagi kalau memang terbukti tidak ada kandungan Alkoholnya.
Namun pihak LP-POM MUI tetap bersikeras dan tetap mengklaim bahwa Bir Bintang itu masih mengandung Alkohol. Walau pun setelah ditest, konon memang terdeteksi. Lalu dibuatlah alasannya, katanya karena alat yang dimiliki oleh lembaga itu hanya mampu mendeteksi benda yang kandungan Alkoholnya di atas 0, 1%. Sedangkan yang di bawah 0, 1%, alat itu tidak mampu mendeteksinya.

Orang LP-POM yang lain malah lebih aneh lagi. Menurutnya, Bir Bintang itu haram karena aromanya masih aroma bir. Jadi masih harus dianggap haram.
Tapi hujjah seperti ini akan menjadi lemah, karena tidak didukung dalil yang kuat. Sebab ketika Allah SWT mengharamkan khamar, para ulama sudah langsung bisa menarik 'illat dalam qiyas. 'Illatnya adalah al-iskar, bukan ar-raaihah (aroma), bukan al-laun (warna), juga bukan ath-tha'mu (rasa).

Tiga indikator itu hanya berlaku untuk benda najis. Ketika kita membersihkan najis mutawassithah, maka yang harus hilang adalah warna, rasa dan aroma.
Tapi kalau khamar, yang diharamkan adalah efek mabuknya.

Mungkin maksud bapak-bapak di lembaga itu baik, tapi rasanya kok malah agak memaksakan diri. Sebab hujjah seperti itu menurut pandangan kami malah sangat lemah. Sebab syariah Islam tidak pernah mengharamkan bau atau aroma Bir Bintang. Yang diharamkan adalah benda yang bisa memberikan efek al- iskar. Kalau cuma menghirup aromanya, tentu saja tidak mabuk.
Hujjah Yang Kuat Untuk tetap mengharamkan Bir Bintang, kami berpandangan jangan pakai ukuran Alkohol. Tapi pakai teknik yang digunakan para ulama di masa lalu.

Yaitu bahwa haram atau tidaknya suatu minuman tidak semata-mata diukur dari berapa persen kandungan Alkoholnya. Tapi dari efek al-iskar yang didapat.
Ukurannya mudah sekali, misalnya kita bisa gunakan seorang non muslim yang sehat dan belum pernah mabuk seumur hidup. Orang non muslim kan tidak diharamkan minum khamar, itu pun seandainya khamar betulan.
Lalu kita minta dia minum Bir Bintang itu, pertama sedikit dulu, terus diperbanyak. Kita test tanda-tanda pisiknya, apakah dia teler apa tidak.
Kalau sudah tiga botol diembatnya ternyata dia masih santai-santai saja, normal, sehat, sadar, tidak goyang, artinya dia tidak mabuk, sementara kita sudah pastikan dia juga bukan pemabuk minuman beralkohol, maka jelas sekali benda itu bukan khamar.
Apakah masih mau dipaksa-paksakan juga benda itu harus disebut khamar? Karena namanya selama ini sudah dianggap nama khamar? Tentu tidak bukan?
Tapi kalau hasilnya sebaliknya, baru beberapa teguk saja dia sudah menampakkan gejala mabuk, ya tidak usah diutak-atik lagi. Jelaslah benda itu khamar. Tapi karena yang kita suruh minum itu orang kafir, maka tidak ada yang dikorbankan dalam hal ini.
Dalam jawaban yang lalu kami katakan, pakai saja kucing atau kelinci percobaan. Tentu tidak ada salahnya menyuruh hewan minum khamar. Toh hewan bukan makhluk yang punya beban taklif. Jangankan minum khamar, lha wong berzina saja dilakukan, bahkan kadang dengan biangnya sendiri. Namanya juga hewan.

Sesuai Dengan Keputusan Bahtsul Matsail Nahdlatul Ulama
Apa yang kami sampaikan ini bukan hal yang mengada-ada. Sudah ada rujukannya sejak 80-an tahun yang lalu. Ketika bermuktamar yang ke IV di Semarang tahun 1929, Nahdlatul Ulama telah membahas hal ini, dan mereka memang cenderung untuk tidak
Saat itu yang dipermasalahkan adalah apakah minuman dengan menggunakan nama 'bir' termasuk haram dan juga merupakan khamar?
Di masa itu memang beredar nama minuman dengan merek bir cap kunci dan bir cap ayam. Namanya pakai istilah 'bir', yang kesan dan konotasinya seolah minuman keras.
Namun menarik sekali keputusan ulama di masa itu yang secara tegas mengatakan bahwa kedua merek minuman itu tidak haram. Berikut petikan keputusannya:
Bir cap Kunci, bir cap Ayam, dan sebagainya, itu hukumnya tidak haram, karena belum terang hakekatnya (mutsasyabih). Sabda Rasulullah SAW yang halal dan haram itu sudah terang dan di antara keduanya terdapat hal-hal yang belum terang.
Adapun kinalaraus itu hukumnya haram, karena telah terang memabukkan. Adapun air gadung itu halal karena tidak memabukkan.

Intinya, para ulama di masa itu juga tidak gegabah main haramkan suatu produk. Meski namanya menggunakan istilah 'bir', tapi karena hakikatnya bukan minuman yang memabukkan, maka mereka konsekuen untuk tidak main haramkan begitu saja.
Dan jelas sekali standart mereka, khamar itu bukan urusan Alkohol atau bukan, tetapi memabukkan atau tidak.

Jadi kesimpulannya, kalau minuman itu mengandung Alkohol tapi tidak memabukkan buat pemula sekalipun, maka minuman itu bukan khamar. Tapi walau pun tidak mengandung Alkohol tapi memabukkan buat pemula, maka minuman itu adalah khamar.

Tak Satu pun Ayat atau Hadits Yang Mengharamkan Alkohol
Kalau kita perhatikan secara lebih seksama, tidak ada satu pun ayat Al-Quran yang mengharamkan Alkohol. Bahkan kata Alkohol itu tidak kita dapati di 6000-an ayat lebih itu.
Begitu juga kita tidak menemukan satu pun hadits nabawi yang mengharamkan Alkohol, padahal jumlah hadits nabawi bisa mencapai jutaan.

Yang disebutkan keharamannya di dalam kedua sumber agama itu hanyalah khamar.
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maidah: 90)

Dan sesuai dengan makna bahasa di masa itu, khamar adalah minuman hasil perasan buah anggur atau kurma yang telah mengalami fermentasi di tingkat tertentu sehingga menimbulkan gejala iskar.

Lalu bagaimana bisa kita mengharamkan ganja, mariyuana, opium, drugs dan lainnya? Padahal nama-nama itu juga tidak ada di dalam kitabullah dan sunnah Rasul-Nya? Apakah benda-benda itu halal dikonsumsi?
Jawabnya tentu tidak. Karena benda-benda itu punya kesamaan sifat dan 'illat dengan khamar, yaitu memabukkan orang yang meminumnya. Dan karena daya memabukkannya itulah maka benda-benda itu diharamkan, lalu juga disebut dengan khamar.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ahmad Sarwat, Lc

Fatwa Dr. Yusuf Qordhowi Tentang Halalnya 0.5% Alkohol

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sebenarnya Syeikh Al-Qaradawi bukan menghalalkan khamar. Yang beliau sebutkan adalah kadar maksimal Alkohol yang masih bisa ditolelir dalam suatu obat atau makanan. Dan tidak ada yang salah dalam masalah ini.

Bahkan LPPOM MUI malah lebih longgar ketika memberikan batasan, mereka menyebut kadar nilai 2%, jauh lebih banyak dari yang disebutkan oleh Al-Qaradawi.

Bukankah Banyak dan Sedikit Tetap Haram?
Benar sekali bahwa banyak atau sedikit tetap haram, tetapi kita harus perhatikan dulu, yang disebut banyak atau sedikit itu apanya?
Bukan kadar Alkohol tapi khamar. Khamar itu mau diminum cuma setetes atau mau ditenggak seember, sama-sama haram. Tapi Alkohol tidak sama atau tidak identik dengan khamar. Inilah titik masalahnya.
Kita bisa katakan bahwa Alkohol adalah senyawa kimia, sedangkan Khamar adalah karakter suatu bahan makanan, minuman atau benda yang dikonsumsi.

Definisi khamar tidak terletak pada susunab kimianya, tapi definisinyaterletak pada efek yang dihasilkannya, yaitu al-iskar (memabukkan). Maka benda apa pun yang kalau dimakan atau diminum akan memberikan efek mabuk, dikategorikan sebagai khamar.

Maka definisi khamar yang benar menurut para ulama adalah'segala yang memberikan efek iskar (memabukkan)'. Dan definisinya bukanlah 'semua makanan yang mengandung Alkohol'.
Sebab menurut para ahli, secara alami beberapa makanan kita seperti besar, singkong, duren dan buah lainnya malah mengandung Alkohol. Namun kita tidak pernah menyebut bahwa berat itu haram karena mengandung Alkohol.

Dan karena definisinya segala benda yang memberikan efek iskar, maka ganja, opium, drug, mariyuana dan sejenisnya, tetap bisa dimasukkan sebagai khamar. Padahal benda itu malah tidak mengandung Alkohol.

Daun ganja kering yang dilinting seperti rokok, rasanya tidak mengandung Alkohol, tapi dia tetap dikatakan sebagai khamar. Karena daun itu memabukkan kalau dihisap asapnya.
Senyawa Alkohol sendiri kalau kita minum, bukan efek al-iskar (mabuk) yang dihasilkan, melainkan efek al-mautu.

Al-Mautu? Apa itu?
Al-mautu artiya kematian. Coba saja minum alkohol 70% yang kita beli di Apotek, tidak usah banyak-banyak, segelas saja, insya Allah langsung innalillahi.
Dalam dalam kadar yang kecil dan sedikit, Alkohol aman bagi tubuh dan juga tidak memberi efek al-iskar, juga tidak memberi efek al-mautu. Karena itu banyak ulama dan lembaga pengawas makanan yang membolehkan khamar dengan kadar tertentu, terutama untuk larutan obat.
Dan karena Alkohol tidak identik dengan khamar, maka bila jumlahnya sedikit masih bisa ditolelir.

Lalu Bagaimana Mengukur Al-Iskar?
Kepolisian biasanya memang mengukur apakah seseorang mabuk atau tidak, mengunakan kadar Alkohol dalam darah. Padahal dalam syariah Islam, cara pengukuran seperti itu tidak pernah dilakukan.
Sebab fenomena al-iskar itu mudah sekali diketahui, sama saja dengan menyebutkan beda orang yang tidurdengan yang tidak tidur. Tidak perlu diukur dengan beragam pengukuran hingga sampai REM segala.
Pokoknya anak kecil juga tahu membedakan, mana tidur dan mana melek. Sederhana sekali karena syariah Islam itu memang sederhana saja.

Kalau mau tahu apakah sebuah minuman bersoda itu sudah termasuk khamar atau bukan, suruh saja kucing atau kelinci meminumnya. Kita lihat efeknya, kalau hewan itu jalannya sempoyongan lantaran teler nenggak minuman itu, nah ketahuan deh bahwa minuan itu khamar. Maka otomatis kita sebut minuman itu khamar, meski tidak ada alkoholnya.

Tapi kucing atau kelincinya harus yang sehat wal afiat, jangan kucing yang kerjaannya mabok juga. Yang begitu sih tidak bisa dijadikan ukuran. Habis, tiap hari kerjaannya nenggak bir, AO, mansion, vodka, topi miring, dan sejenisnya. Kucingnya harus kucing yang belum pernah mabok sebelumnya.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc